Waspada! Kehancuran Negeri Dimulai dari Kekuasaan yang Diperjualbelikan Tim Redaksi, 29/08/2025 KABAR kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR di tengah rakyat yang semakin susah menimbulkan kontroversi tajam. Di saat pemerintah memberlakukan kebijakan efisiensi, anggota DPR justru menikmati penghasilan luar biasa—dilaporkan mencapai Rp 3 juta per hari, atau sekitar Rp 100–230 juta per bulan, dengan pajak penghasilan ditanggung negara. Pejabat negara lain, seperti menteri dan komisaris, juga memperoleh penghasilan fantastis, bahkan miliaran rupiah per tahun. Fenomena ini menunjukkan miskinnya etika dan tumpulnya nurani para penguasa. Mereka bergelimang harta di tengah rakyat yang menderita, sementara kinerja mereka tak sebanding dengan penghasilan yang diterima. Politik demokrasi yang mahal membuat pejabat berupaya mengembalikan modal politiknya, baik lewat cara legal—seperti kenaikan gaji—atau ilegal, seperti suap dan korupsi. Tidak mengherankan jika korupsi kini menembus triliunan rupiah. Allah SWT memperingatkan tentang bahaya hidup bermegah-megahan dan lalai dari amanah: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian hingga kalian masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu… Jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kalian benar-benar akan melihat Neraka Jahim. Kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan yang kalian megah-megahkan di dunia itu.” (TQS at-Takatsur [102]: 1-8) “Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu, tetapi mereka melakukan kedurhakaan… Karena itu kami menghancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (TQS al-Isra’ [17]: 16) Empat faktor yang mendatangkan murka Allah SWT terhadap umat terdahulu adalah: Ketidaktaatan terhadap syariah-Nya. Hidup mewah para pemimpin sementara rakyatnya miskin dan menderita. Terjadinya kezaliman penguasa terhadap rakyat. Pengingkaran terhadap kebenaran yang dibawa para utusan Allah. Sistem kapitalisme demokrasi sekuler saat ini jelas menjauhkan pemerintahan dari hukum Allah, menjadikan jabatan dan kekuasaan sebagai ladang menumpuk kekayaan, bukan sebagai amanah. Allah SWT berfirman: “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya bagi dia kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (TQS Thaha [20]: 124) Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah yang berat. Para ulama dahulu menolak jabatan bukan karena haram, tetapi karena sadar tanggung jawabnya di hadapan Allah. Khalifah Umar bin al-Khaththab RA menegaskan: “Aku memposisikan diriku terhadap harta Allah seperti wali anak yatim… Jika aku berkecukupan, aku menjaga diri. Jika membutuhkan, aku mengambil sekadarnya dengan cara yang baik. Sungguh aku diamanahi untuk mengurus urusan umat ini.” Kekuasaan bukan untuk dinikmati, tetapi untuk menegakkan keadilan dan syariah Allah. Jalan keluar bagi negeri ini adalah kembali pada hukum Allah SWT secara kaaffah, sebagaimana firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (TQS al-Baqarah [2]: 208) Hanya dengan penerapan syariah secara menyeluruh—dalam institusi pemerintahan Islam (Khilafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah)—negeri ini dapat terhindar dari kehancuran dan meraih keberkahan Allah: “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sehingga Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka.” (TQS al-A’raf [7]: 96) Amanah, etika, dan kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Allah adalah kunci menyelamatkan negeri. Saat kekuasaan dijadikan bancakan dan syariah dijauhi, kehancuran negeri menjadi nyata. Waspadalah! )* Diolah dari Bulletin Kaffah 𝙴𝚍𝚒𝚜𝚒 408, 5 𝚁𝚊𝚋𝚒𝚞𝚕 𝙰𝚠𝚊𝚕 1447 𝙷/29 𝙰𝚐𝚞𝚜𝚝𝚞𝚜 2025 𝙼