Bahagia Itu Dekat, Jika Hati Dekat dengan Allah Tim Redaksi, 18/06/2025 Pesan Dakwah Prof Veni Hadju SOSOK itu bernama Pak Anwar (bukan nama sebenarnya), anggota jamaah i’tikaf tertua di kelompok kami. Usianya 78 tahun, tetapi wajahnya selalu cerah, tubuhnya ringan melangkah, dan semangat ibadahnya tak pernah surut. Sungguh luar biasa menyaksikan beliau — di usia senja, jauh dari tanah air, tetap menjadikan Masjidil Haram sebagai rumah ruhani yang menenteramkan hati. Saya sempat berbincang dengannya di sela-sela waktu sahur. Beliau bercerita bahwa ini adalah umrah kedua dalam hidupnya. Dua tahun lalu, beliau kehilangan istri tercinta. Namun sebelum wafat, sang istri justru meninggalkan pesan mulia: agar suaminya menikah lagi dengan wanita yang ia pilihkan sendiri. Kini, setelah menikah kembali, Pak Anwar tampak tenang dan tersenyum lebar saat bercerita tentang keseharian ibadahnya. Beliau benar-benar tampak BAHAGIA. Saat saya bertanya bagaimana kehidupan beliau di Indonesia, beliau menyebut bahwa hari-harinya diisi dengan menghadiri pengajian, dari satu masjid ke masjid lainnya. Beliau tinggal di kawasan dekat Bintaro Jaya, Jakarta, yang memiliki banyak masjid aktif dengan agenda kajian yang padat. Dalam sehari, beliau bisa ikut empat kali pengajian: setelah Subuh di akhir pekan, saat Dhuha, antara Ashar dan Magrib, lalu dari Magrib hingga Isya. Nama-nama ustaz yang beliau sebut bukan nama asing. Artinya, beliau bukan hanya hadir, tapi betul-betul menikmati dan menghayati ilmu serta ibadahnya. Pak Anwar bukanlah orang kaya raya dalam arti materi, tapi jiwanya lapang dan hatinya tenang. Ia memiliki rutinitas ibadah yang penuh keikhlasan dan ketekunan, yang menjadi sumber kebahagiaan yang tidak bisa dibeli. Dalam wajah tuanya yang keriput, ada sinar kedamaian yang terpancar — sinar dari hati yang selalu berdzikir, dari jiwa yang selalu merasa cukup dan berserah. Seringkali kita keliru mengartikan kebahagiaan. Kita kira ia hanya milik mereka yang bergelimang harta, bertabur pujian, dan bebas dari masalah duniawi. Padahal, harta tidak menjamin hati yang tentram, dan jabatan tidak selalu membawa jiwa yang damai. Seseorang bisa hidup dalam rumah besar, tetapi hatinya sempit. Bisa punya kendaraan mewah, tapi pikirannya kusut dan dadanya sempit. Sebaliknya, mereka yang istiqamah dalam ibadah, walau sederhana hidupnya, bisa merasakan kebahagiaan yang hakiki. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan janji dalam firman-Nya: “Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga; mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tidak ada putus-putusnya.” (QS. Hud: 108) Kebahagiaan dunia memang bisa hadir dalam bentuk rezeki, pasangan hidup yang salih, anak-anak yang baik, dan lingkungan yang mendukung. Namun kebahagiaan tertinggi adalah ketika hati selalu terhubung kepada Allah. Ibadah yang dilakukan secara konsisten dan ikhlas, seakan seperti aliran air jernih yang terus menyegarkan jiwa. Inilah sumber bahagia yang tidak lekang oleh waktu, dan tidak bergantung pada kondisi dunia. Mari kita isi sisa Ramadan ini dengan memperbanyak ibadah, memperpanjang dzikir, dan memperdalam syukur. Sebab, di dalam keikhlasan itulah Allah tanamkan benih-benih kebahagiaan, yang akan tumbuh hingga ke surga.