Semangat Berkurban sebagai Wujud Syukur dan Solidaritas Sosial Tim Redaksi, 08/06/202518/06/2025 Pesan Dakwah 12 Dzulhijjah 1446 H Oleh: Prof. Veni Hadju Setiap kali Hari Raya Iduladha tiba, gema takbir menggema di seluruh penjuru negeri. Suasana penuh haru dan kebahagiaan terasa di tengah masyarakat, bukan hanya karena makna spiritual dari hari besar ini, tetapi juga karena momen ini menghadirkan simbol nyata solidaritas sosial melalui ibadah kurban. Ibadah kurban adalah bentuk penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail ‘alaihissalam. Di masa kini, kurban bukan sekadar ritual penyembelihan hewan, melainkan wujud ketakwaan, pengorbanan, keikhlasan, dan kepedulian sosial umat Islam. Pemerataan Gizi dan Kesejahteraan Sosial Setiap tahun, jutaan umat Islam berlomba-lomba melaksanakan kurban. Di Indonesia, data tahun 2023 mencatat sekitar 3 juta ekor hewan kurban disembelih. Kambing menjadi hewan yang paling banyak dikurbankan, disusul oleh domba, sapi, dan kerbau. Hal ini menunjukkan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam menunaikan ibadah yang sangat mulia ini. Distribusi daging kurban menjadi ajang pemerataan konsumsi pangan bergizi, khususnya bagi kelompok masyarakat yang selama ini sulit mengakses sumber protein hewani secara rutin. Daging kurban mengandung protein tinggi, vitamin, mineral, dan asam lemak jenuh yang baik untuk kebutuhan tubuh. Di saat yang sama, daging ini disajikan dalam berbagai menu khas yang menambah sukacita Hari Raya. Namun, lebih dari sekadar pemenuhan gizi, daging kurban membawa nilai spiritualitas dan empati sosial. Ia memperkuat ikatan antarsesama, membangun kebersamaan, serta menumbuhkan semangat berbagi dan kepedulian terhadap sesama. Kurban dan Rasa Syukur Berkurban adalah bukti syukur atas rezeki dan nikmat yang tak terhingga dari Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk melaksanakan dua ibadah utama sebagai bentuk rasa syukur: shalat dan berkurban. “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).” (QS. Al-Kausar: 1–2) Ayat ini menegaskan bahwa kedua ibadah ini—shalat sebagai koneksi vertikal dengan Allah dan kurban sebagai bentuk kepedulian horizontal terhadap sesama—adalah pilar kesalehan yang saling melengkapi. Seorang mukmin yang bersyukur akan menjadikan kurban sebagai bentuk pengabdian kepada Allah sekaligus kontribusi nyata bagi masyarakat. Keikhlasan: Kunci Diterimanya Ibadah Allah tidak membutuhkan daging dan darah hewan kurban. Yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dan keikhlasan kita dalam menjalankan perintah-Nya. Oleh karena itu, ibadah kurban hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki keimanan mendalam—mereka yang rela mengorbankan sebagian hartanya demi mencari keridhaan Allah semata. Sebagaimana firman Allah: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37) Iduladha dan hari-hari Tasyrik bukan hanya momen berkurban secara fisik, tetapi juga momentum untuk melakukan muhasabah: sejauh mana kita mampu mengorbankan ego, keserakahan, dan cinta dunia demi menggapai cinta Allah? Berkurban tidak berhenti di kandang hewan, tetapi juga harus diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari: pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan harta untuk kebaikan umat. Mari jadikan semangat berkurban sebagai bagian dari gaya hidup orang beriman. Semangat untuk berbagi, untuk peduli, dan untuk bersyukur atas nikmat yang tak terhingga. Di tengah tantangan hidup yang makin kompleks, berkurban adalah panggilan iman untuk menghidupkan rasa kemanusiaan dan kasih sayang. Semoga Allah menerima kurban kita semua dan menjadikannya amal yang murni dan berpahala di sisi-Nya. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Walillahilhamd.