Raja Ampat di Ujung Tanduk: Ironi Surga Terakhir yang Dikepung Tambang Nikel Tim Redaksi, 18/06/2025 KETIKA masyarakat Indonesia dan dunia masih mengagumi keindahan Raja Ampat—wilayah yang dijuluki sebagai “surga terakhir di bumi”—ancaman terhadap eksistensinya justru semakin nyata. Di balik birunya laut dan rindangnya hutan tropis, kini tersembunyi kecemasan mendalam: ekspansi industri tambang nikel. Kampanye “Save Raja Ampat” mencuat sebagai seruan moral atas kekhawatiran akan rusaknya ekosistem alam dan sosial akibat eksploitasi tambang. DAFTAR ISI Toggle Kerusakan Ekologi dan Janji Kosong KesejahteraanKapitalisme, Oligarki, dan Kepungan KepentinganKrisis Sosial dan Kehancuran yang DiabaikanSudut Pandang Islam: Menjaga Alam sebagai Amanah IlahiSolusi Hakiki: Sistem Alternatif yang Menjaga Lingkungan dan Keadilan Dalam Indonesia Critical Mineral Conference & Expo 2025 yang berlangsung di Jakarta pada 3 Juni lalu, sejumlah aktivis lingkungan seperti Greenpeace bersama Masyarakat Adat Papua mengangkat suara lantang menolak eksploitasi yang dianggap membahayakan keberlanjutan lingkungan. Ironisnya, kegiatan pertambangan itu justru dikemas dalam kerangka “transisi hijau”—istilah yang seharusnya merepresentasikan inovasi ramah lingkungan. Namun pada praktiknya, penambangan nikel seringkali meninggalkan jejak kerusakan yang sistematis: pencemaran laut, penggundulan hutan, dan tergesernya komunitas lokal dari ruang hidupnya. Kerusakan Ekologi dan Janji Kosong Kesejahteraan Menurut data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), saat ini terdapat lebih dari 380 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel yang membentang di lahan seluas hampir 1 juta hektar di Indonesia. Bukannya membawa kemakmuran, kegiatan tambang justru memperparah ketimpangan sosial, mempercepat deforestasi, dan menghancurkan tatanan ekologis yang sudah rapuh. Bahkan, Indonesia tercatat sebagai negara dengan deforestasi tropis akibat tambang tertinggi di dunia, menyumbang lebih dari 58 persen kerusakan hutan di antara 26 negara yang diteliti (Kompas, 13 September 2022). Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret menyedihkan dari kelalaian sistemik yang melanggengkan pembiaran atas keserakahan industri. Kapitalisme, Oligarki, dan Kepungan Kepentingan Kerusakan tersebut tidak terjadi dalam ruang hampa. Akar persoalannya bersumber dari model ekonomi yang menjadikan alam sebagai komoditas: Kapitalisme. Dalam sistem ini, tanah, air, dan tambang adalah objek investasi. Negara sering kali hanya bertindak sebagai fasilitator modal, bukan pelindung rakyat dan lingkungan. Kepentingan para oligarki—kelompok elite pemilik modal yang juga terlibat dalam kekuasaan politik—meresap hingga ke lini-lini kebijakan. Mereka mampu meloloskan izin tambang di kawasan konservasi, memengaruhi opini publik melalui media, dan bahkan menciptakan regulasi yang menguntungkan korporasi. Rakyat dan lingkungan menjadi pihak yang dikorbankan dalam transaksi tak kasat mata antara modal dan kuasa. Krisis Sosial dan Kehancuran yang Diabaikan Ekspansi industri tambang berdampak langsung pada komunitas lokal, terutama masyarakat adat. Banyak di antara mereka yang terusir dari tanah leluhurnya, kehilangan sumber penghidupan, dan mengalami marginalisasi sosial. Di sisi lain, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tak terkendali memicu bencana ekologis: banjir, tanah longsor, kekeringan, hingga hilangnya keanekaragaman hayati. Fenomena ini mempertegas paradoks pembangunan: atas nama kemajuan, justru yang terjadi adalah pemiskinan sistemik dan pemusnahan warisan alam. Sementara segelintir elite menikmati hasilnya, mayoritas rakyat hanya mewarisi kerusakan. Sudut Pandang Islam: Menjaga Alam sebagai Amanah Ilahi Dalam Islam, alam bukan sekadar sumber daya, tetapi amanah Tuhan yang harus dijaga dan dimakmurkan. Sebagaimana firman Allah SWT: “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah bumi itu Allah perbaiki…” (QS al-A’raf [7]: 56) Islam menempatkan manusia sebagai khalifah (pengelola) bumi, bukan sebagai perusak. Dalam pandangan syariah, sumber daya alam strategis seperti tambang adalah milik umum (milkiyyah ‘aammah) dan tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta. Negara wajib mengelolanya untuk kepentingan seluruh rakyat—tanpa merusak ekosistem. Sabda Rasulullah saw. menguatkan konsep ini: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad) Dengan sistem ini, sumber daya seperti nikel seharusnya dikelola negara, bukan dijual kepada investor asing atau dijadikan proyek bisnis bersama oligarki. Hasilnya didistribusikan melalui mekanisme Baitul Mal, untuk layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan lingkungan. Solusi Hakiki: Sistem Alternatif yang Menjaga Lingkungan dan Keadilan Kerusakan ekologis dan kesenjangan sosial yang ditimbulkan oleh sistem kapitalistik tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan tambal sulam. Dibutuhkan sistem alternatif yang menjadikan keadilan, keseimbangan alam, dan kemaslahatan umat sebagai fondasi. Sistem Islam, yang mengintegrasikan aspek moral, hukum, dan sosial, menjadi tawaran solusi yang menyeluruh. Penerapan syariah Islam secara kaaffah bukan hanya cita-cita spiritual, tetapi juga solusi praktis untuk krisis multidimensi yang kini kita hadapi. Sebab hanya ketika hukum Allah ditegakkan, keberkahan dari langit dan bumi akan turun sebagaimana janji-Nya: “Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (QS al-A’raf [7]: 96) Raja Ampat hari ini adalah simbol pertarungan antara dua jalan: melanjutkan jalan kapitalisme yang menjerumuskan, atau beralih pada jalan Islam yang menyejahterakan dan menjaga alam. Kini saatnya bangsa ini membuka mata, melepaskan diri dari cengkeraman sistem yang merusak, dan membangun masa depan yang berpihak pada rakyat dan lingkungan. Karena jika kita terus memilih diam, maka bukan hanya Raja Ampat yang akan hilang, tetapi juga warisan alam untuk generasi mendatang. Diolah Redaksi Percik dari Bulletin Kaffah edisi 17 Dzulhijjah 1446 H.