Haji dan Persatuan Umat Islam, Momentum yang Harus Diaktualisasikan dalam Realitas Politik dan Sosial Tim Redaksi, 01/06/202518/06/2025 IBADAH haji adalah salah satu pilar Islam yang memiliki makna ritual dan sosial yang sangat dalam. Setiap tahun, jutaan Muslim dari seluruh penjuru dunia berhimpun di Tanah Suci Makkah untuk melaksanakan ibadah yang seragam, mengenakan pakaian ihram yang sama, dan menjalankan ritual yang serupa. Secara simbolis, haji menegaskan prinsip persatuan umat Islam—menghapuskan sekat perbedaan suku, bangsa, warna kulit, status sosial, dan geografis. Saat di padang Arafah, saat thawaf mengelilingi Ka’bah, umat Islam menjadi satu dalam ketaatan, tunduk hanya kepada Allah SWT. Namun, paradoksnya, spirit persatuan ini seringkali hanya sebatas ritual dan tidak berlanjut ke kehidupan sosial dan politik umat Islam di dunia nyata. Setelah kembali ke negara masing-masing, umat Islam terjebak dalam sekat-sekat yang dibangun oleh sistem negara-bangsa yang kerap menempatkan kepentingan nasional dan politik di atas kepentingan ukhuwah Islamiyah. Sehingga, semangat “ukhuwah” yang mestinya menjadi fondasi kokoh umat Islam, justru tergerus oleh perpecahan, perselisihan sektarian, dan politik identitas yang memecah belah. Kondisi ini semakin nyata ketika kita melihat tragedi umat Islam di Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun. Meskipun menjadi isu utama bagi umat Islam global, dukungan nyata untuk perjuangan mereka masih sangat minim, bahkan dari negara-negara yang mengaku sebagai pelayan dua kota suci, Makkah dan Madinah. Arab Saudi, yang memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan haji, justru menunjukkan kecenderungan bersekutu dengan kekuatan-kekuatan Barat dan Amerika Serikat yang menjadi penopang utama pendudukan dan genosida terhadap bangsa Palestina. Ironi ini menunjukkan bahwa pengelolaan haji dan perlindungan terhadap dua kota suci tidak serta merta berbanding lurus dengan komitmen mereka terhadap persatuan dan pembelaan umat Islam secara global. Sebaliknya, kepentingan politik dan ekonomi seringkali mengalahkan prinsip keadilan dan solidaritas umat Islam yang tertindas. Dalam perspektif Islam yang mendalam, jihad membela kaum Muslim yang dizalimi—termasuk di Palestina—memiliki keutamaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan pelayanan ritual haji dan pembangunan masjid. Al-Qur’an menegaskan bahwa amalan ritual tanpa diimbangi dengan penguatan keimanan dan perjuangan di jalan Allah tidak cukup untuk menjamin keberkahan dan kemenangan umat. Allah SWT berfirman dalam Surat at-Taubah ayat 19 bahwa memberi makan jamaah haji dan membangun masjid tidaklah setara dengan beriman dan berjihad di jalan Allah. Sejarah Islam memberikan contoh jelas bagaimana Rasulullah SAW dan para khalifah yang mengikuti jejak beliau secara konsisten melindungi darah dan kehormatan umat. Mereka tidak hanya mengelola ritual keagamaan, tetapi juga membangun institusi politik dan militer yang kuat untuk menjaga umat dari penindasan dan penjajahan. Dalam konteks saat ini, hal tersebut mengindikasikan perlunya kebangkitan institusi pemerintahan Islam yang nyata dan kuat, yakni Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Khilafah merupakan bentuk pemerintahan yang mampu menyatukan umat Islam secara politik, sosial, dan ekonomi sekaligus melindungi kepentingan mereka di pentas global. Dengan adanya Khilafah, momentum persatuan yang tercermin dalam ibadah haji tidak berhenti pada ritual saja, tetapi diaktualisasikan dalam solidaritas politik dan kekuatan strategis umat. Momentum haji seharusnya menjadi titik tolak kebangkitan umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman: penjajahan, perpecahan, kemiskinan, dan tekanan global yang semakin kompleks. Ibadah haji bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan panggilan ideologis untuk memperkuat kesadaran persatuan, keadilan, dan perjuangan bersama. Untuk itu, umat Islam perlu menyadari bahwa persatuan hakiki tidak bisa diperoleh hanya dengan ritual tahunan. Diperlukan komitmen politik, penguatan pendidikan Islam yang inklusif, dan strategi perjuangan bersama yang terorganisir di tingkat global. Tanpa itu, haji hanya menjadi simbol kosong tanpa kekuatan nyata untuk membebaskan umat dari penjajahan dan ketidakadilan. Di tengah dinamika geopolitik global yang semakin menantang, umat Islam harus berani menempatkan ukhuwah Islamiyah sebagai basis utama gerakan perlawanan dan pembebasan. Haji harus kembali pada makna hakikinya sebagai panggilan ukhuwah dan jihad, bukan sekadar ritual simbolis. (*) Redaksi PERCIK