Karena Idulfitri Bukan Hanya Tentang Baju Baru, Tapi Hati yang Baru Tim Redaksi, 18/06/2025 Pesan Dakwah Prof Veni Hadju ADA satu pengalaman sederhana namun sangat berkesan saat menjalani i’tikaf di penghujung Ramadan. Beberapa hari saya sudah menempati satu lokasi yang nyaman untuk beribadah, namun suatu malam datang sekelompok orang yang dengan enteng menempati tempat itu — tanpa meminta izin, tanpa basa-basi. Saya sempat terdiam, merasa terusik. Tapi saya memilih diam, mengalah, dan berpindah ke tempat lain yang seadanya. Bukan karena lemah, tapi karena saya percaya: kedamaian lebih utama dari pada memperjuangkan ego. Lalu saya merenung: Apakah ibadah yang begitu mulia—i’tikaf di malam-malam ganjil Ramadan—akan tetap bernilai jika dilakukan dengan menyakiti sesama? Semoga Allah MEMAAFKAN mereka, dan MEMAAFKAN saya yang mungkin menyimpan perasaan tak enak di dalam hati. Agama kita mengajarkan bahwa ibadah yang baik tak pernah berdiri sendiri. Ia harus berjalan seiring dengan akhlak yang luhur. Hak saudara kita adalah amanah, dan memperlakukannya dengan adil adalah bagian dari ketakwaan. Mungkin kita rajin tahajud, sering bersedekah, tapi jika lisan atau perbuatan kita menyakiti orang lain, nilai ibadah kita bisa tergerus. Dan pada akhirnya, yang ditimbang bukan hanya salat dan puasa, tapi juga adab dan kasih sayang. “Manusia terbaik adalah yang paling baik akhlaknya.” Dan salah satu akhlak tertinggi adalah kemampuan memaafkan. Memaafkan bukan tanda kelemahan, tetapi cermin kekuatan jiwa yang matang. Allah pun berjanji bahwa memilih memaafkan akan mendatangkan ampunan dan keberkahan-Nya. “Jika kamu menyatakan suatu kebajikan, atau menyembunyikannya, atau memaafkan kesalahan (orang lain), maka sungguh Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa’ ayat 149) Hari ini, 1 Syawal, adalah puncak kemenangan. Tapi kemenangan yang sejati bukan hanya karena mampu berpuasa sebulan penuh, melainkan karena mampu membersihkan hati — dari dendam, kecewa, dan prasangka. Inilah momen untuk melapangkan dada, melepaskan luka, dan saling memaafkan. Di antara gema takbir, di balik senyum dan peluk saudara, kita sebenarnya sedang berusaha menghidupkan kembali hati yang mungkin sempat mati karena luka, kesal, atau kecewa. Maka mari kita ucapkan: “Aku memaafkanmu.” Dan juga, dengan rendah hati berkata: “Maafkan aku.” Karena sebaik-baik manusia adalah yang mudah memberi maaf, dan juga tidak gengsi untuk memohon maaf.