Skip to content
PERCIK KAHMI Makassar
KAHMI Makassar
  • Home
    • Berita
    • Artikel
  • Tentang Percik
  • Kirim Artikel
  • KAHMI Makassar
  • FORHATI Makassar
PERCIK KAHMI Makassar
KAHMI Makassar


Membaca Logika Simbolik Aksi Massa

Tim Redaksi Tim Redaksi, 01/09/2025

Oleh : Mustari Mustafa*

GELOMBANG demonstrasi yang melanda berbagai daerah akhir-akhir ini menyisakan potret yang tidak bisa dianggap remeh.

DAFTAR ISI

Toggle
  • Simbol Kekuasaan dalam Api Protes
  • Rumah Pejabat sebagai Simbol Ketidakadilan
  • Fenomena Global
  • Pilihan Sikap dan Jalan Keluar
  • Penutup

Sasaran amarah massa bukan hanya ruang publik yang umum, tetapi secara spesifik diarahkan ke gedung DPR, DPRD, kantor kepolisian, hingga rumah-rumah pejabat dan anggota legislatif.

Kantor dibakar, rumah dijarah, pos polisi diserbu. Dari luar, semua ini tampak sebagai tindakan brutal tanpa kendali. Namun, jika kita cermati lebih dalam, aksi semacam ini menyimpan logika simbolik yang dapat dibaca secara ilmiah.

Simbol Kekuasaan dalam Api Protes

Dalam kacamata Framing Theory, aksi anarkhis tidak hanya dimaknai sebagai perusakan, melainkan sebagai cara massa membingkai sebuah peristiwa menjadi krisis serius.

Gedung DPR atau kantor polisi bukan sekadar bangunan fisik, melainkan simbol negara. Ketika simbol itu diserang, pesan yang ingin disampaikan adalah: “krisis bukan di jalanan, tetapi di pusat kekuasaan.”

Dengan membakar atau merusak institusi negara, massa menciptakan narasi bahwa negara telah gagal mendengar, gagal hadir, dan gagal melindungi.

Di sisi lain, Political Opportunity Structure yang diperkenalkan Charles Tilly dan Sidney Tarrow memberi penjelasan lain: tindakan radikal lahir ketika jalur resmi partisipasi politik dianggap buntu.

DPR dan DPRD sering dilihat hanya menjadi stempel kebijakan, bukan penyalur aspirasi. Polisi pun lebih dipersepsikan sebagai alat represi ketimbang pelindung.

Dalam kondisi seperti ini, protes yang awalnya damai bisa bergeser menjadi serangan simbolik terhadap institusi yang dianggap menutup ruang dialog.

Rumah Pejabat sebagai Simbol Ketidakadilan

Mengapa rumah pejabat ikut dijarah? Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosial-ekonomi. Dalam persepsi publik, rumah mewah pejabat bukan sekadar hunian pribadi, melainkan representasi privilese dan ketidakadilan.

Saat rakyat menderita, gaya hidup elite dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian. Maka, penjarahan dipahami—walau keliru secara hukum—sebagai upaya “redistribusi paksa dari bawah.”

Aksi ini menyiratkan bahwa ketidakpuasan sosial sudah menembus batas ruang privat, dan hubungan antara penguasa dan rakyat berada di titik krisis kepercayaan.

Fenomena Global

Fenomena serupa bukan hanya terjadi di Indonesia. Dalam Arab Spring di Tunisia dan Mesir (2011), gedung pemerintahan, kantor polisi, dan properti elite jadi sasaran karena melambangkan represi rezim.

Di Prancis saat gelombang Yellow Vest (2018–2019), massa menyerang restoran dan butik mewah di Champs-Élysées sebagai simbol ketimpangan sosial. Chile pada 2019 mengalami hal serupa, ketika stasiun metro dan kantor pemerintahan dibakar akibat kebijakan tarif yang dianggap menindas.

Bahkan di Amerika Serikat, protes Black Lives Matter (2020) juga menjadikan kantor polisi target utama karena dianggap representasi rasisme sistemik. Pola ini memperlihatkan bahwa ketika kanal demokrasi macet, massa akan mencari “bahasa alternatif” yang sering kali destruktif.

Pilihan Sikap dan Jalan Keluar

Pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapi situasi ini? Ada beberapa pilihan yang bisa dipertimbangkan.

  1. Pendekatan Represif: Negara bisa menertibkan aksi dengan kekuatan aparat. Cara ini cepat, tetapi berisiko memperdalam jurang kepercayaan. Jika dipilih tanpa dibarengi dialog, potensi eskalasi justru semakin besar.
  2. Pendekatan Simbolik: Pemerintah dan pejabat publik dapat meredam amarah dengan gestur nyata, misalnya turun langsung menemui massa, mendengar aspirasi tanpa perantara, atau mengambil keputusan berani yang menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Langkah simbolik sering kali lebih kuat dari sekadar kata-kata.
  3. Pendekatan Struktural: Krisis legitimasi hanya bisa diatasi dengan memperbaiki kanal partisipasi politik. DPR dan DPRD perlu kembali berfungsi sebagai penyalur aspirasi, bukan hanya mesin legislasi yang jauh dari rakyat. Polisi pun harus menegaskan diri sebagai pelindung masyarakat, bukan alat represi. Tanpa reformasi institusional, siklus protes anarkhis akan terus berulang.
  4. Pendekatan Keadilan Sosial: Ketimpangan yang terlalu lebar antara elite dan rakyat harus dikurangi. Transparansi kekayaan pejabat, pengendalian gaya hidup mewah di ruang publik, serta kebijakan redistribusi ekonomi yang adil dapat meredam rasa ketidakadilan yang memicu penjarahan.

Penutup

Aksi massa yang menyasar DPR, kepolisian, dan rumah pejabat adalah alarm keras bagi negara. Ini bukan sekadar soal keamanan, tetapi tentang krisis legitimasi dan rapuhnya kontrak sosial antara rakyat dan penguasa.

Teori framing dan political opportunity structure membantu kita memahami mengapa amarah diarahkan ke simbol-simbol kekuasaan, sementara pengalaman negara lain menunjukkan bahwa pola serupa terus berulang di berbagai belahan dunia.

Pilihan kini ada di tangan negara dan elite politik, apakah menutup mata dan membalas dengan kekerasan, atau membuka ruang dialog, reformasi, dan keadilan sosial.

Sejarah telah memberi pelajaran bahwa kekuasaan yang kehilangan legitimasi tak akan bertahan lama. Maka, sebelum api semakin membesar, mendengar rakyat adalah jalan terbaik. (*)
⸻
*Penulis adalah Guru Besar Filsafat UIN Alauddin dan Ketua Harian Hubungan Luar Negeri MUI Sulawesi Selatan.

Tentang PERCIK

PERCIK dikelola oleh MD KAHMI Kota Makassar, didedikasikan bagi segenap warga KAHMI untuk berbagi berita, opini dan informasi terbaru yang berkaitan dengan eksistensi dan kegiatan organisasi KAHMI. Kirimkan press release berita, artikel atau opini Anda melalui form ini.

PERCIKAN BARU

  • Kampus Terluas, Manfaat Terbesar

    Kampus Terluas, Manfaat Terbesar

  • Berani Bicara, Berani Berkembang

    Berani Bicara, Berani Berkembang

  • Guru Hebat, Pondasi Karakter dan Peradaban

    Guru Hebat, Pondasi Karakter dan Peradaban

  • MUI Ajak Ormas dan Tokoh Daerah Perkuat Sinergi Menjelang Indonesia Emas 2045

    MUI Ajak Ormas dan Tokoh Daerah Perkuat Sinergi Menjelang Indonesia Emas 2045

  • Juara Dunia, Juara Akhirat

    Juara Dunia, Juara Akhirat

RSS BERITA KAHMI MAKASSAR

  • KAHMI Makassar Gelar Silaturahmi Kebangsaan Hadirkan Helmi Hasan dan Edy Mulyadi
  • MD KAHMI Makassar Gelar Silaturahmi Bersama Wakil Ketua DPD RI Tamsil Linrung
  • Meriah, KAHMI Makassar Gelar Silaturahmi dan Pembubaran Kepanitiaan 1446 H di Pantai Bosowa
  • KAHMI UMI Gelar Halalbihalal, Usung Semangat Perkuat Silaturahmi dan Potensi Pascaramadhan
  • Dihadiri Banyak Tokoh Penting, Halalbihalal KAHMI Makassar Jadi Ajang Konsolidasi Alumni

JANGAN LEWATKAN

  • Doa, Bahasa Hati yang Menembus Langit
  • Prof Mustari Kecam Penyerbuan Masjid Al-Aqsa dan Penangkapan Wali Kota Hebron
  • Ketika Ijazah Tak Menentukan Takdir, dan Sawit Mengantar ke Tanah Suci
  • Bersabar, Kunci Menghadapi Ujian Hidup
  • Hikmah di Balik Penyakit Stroke dan Pencegahan yang Terlupa

RSS PENGURUS KAHMI MAKASSAR

  • Dr. Ir. Taufik Nur, S.T., M.T., IPU, ASEAN Eng, CSCA, APEC Eng.
  • Rasmi Ridjang Sikati, SE,. MM
  • Muhammad Kasman, S.E., M.Si., CFrA.
  • Anshar Aminullah
  • Marsam, S.Pd.I., M.Pd
©2025 KAHMI Makassar